Kelahiran seorang anak biasanya diasosiasikan dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh seluruh anggota keluarga. Luapan kegembiraan yang dirasakan selama masa kehamilan dan menjelang persalinan, seringkali membuat orang tua “melupakan” bahwa akan ada perubahan-perubahan yang mengiringi hadirnya anggota keluarga baru tersebut. Perubahan yang dimaksud antara lain penyesuaian fisik, rutinitas keseharian, pengeluaran, dan peran yang diemban. Kondisi tersebut bisa berdampak pada seluruh anggota keluarga, tetapi ibu adalah yang paling rentan mengalami masalah dalam proses penyesuaian terhadap perubahan-perubahan tersebut.
Selama masa kehamilan dan persalinan, ibu mengalami proses yang luar biasa. Ditinjau secara fisik saja, ibu mengalami perubahan yang besar dari segi bentuk fisik maupun hormonal. Secara psikologis, ibu juga menghadapi berbagai pengalaman yang menyebabkan emosinya “naik turun” seperti roller coaster. Pengalaman tersebut akan terasa lebih intens bagi ibu yang masa kehamilan dan persalinannnya tidak mudah. Pengalaman dan proses menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan tersebut, memang tidak mudah untuk dihadapi. Walaupun diharapkan untuk berbahagia dengan adanya bayi baru, tetapi normal bagi seorang ibu jika ia merasakan emosi negatif seperti merasa cemas, tidak selera makan, murung, mudah marah, mudah menangis, atau bahkan merasa sedih. Kondisi ini lah yang biasa disebut dengan baby blues.
Biasanya baby blues muncul beberapa hari setelah persalinan dan bisa bertahan selama dua minggu. Baby blues dapat terjadi disebabkan oleh penurunan hormon estrogen, progesterone, dan thyroid pasca melahirkan. Penurunan hormon tersebut menyebabkan ibu merasakan kelelahan dan merasa tertekan. Kurangnya istirahat dan perubahan jam tidur juga berkontribusi untuk menambah kelelahan yang dirasakan ibu. Rasa lelah dan perasaan tertekan membuat ibu menjadi mudah sedih dan marah. Hampir 80% ibu yang baru melahirkan mengalami baby blues1. Hal yang perlu diwaspadai adalah saat gejala baby blues tersebut dialami selama lebih dari dua minggu. Jika hal tersebut terjadi maka sebaiknya ibu dibawa untuk diperiksa oleh tenaga kesehatan mental, karena menunjukkan gejala dari pospartum depression (depresi pasca melahirkan)2.
Bagaimana membedakan postpartum depression dari baby blues? Selain dari lamanya gejala dialami (yaitu lebih dari dua minggu), gejala dan dampak postpartum depression yang dirasakan oleh ibu juga lebih berat. Gejala-gejala yang dialami dapat mempengaruhi kemampuan ibu untuk melakukan aktivitas keseharian dan bahkan dapat membuat ibu menjadi tidak mampu merawat bayinya yang baru lahir. Berikut gejala-gejala dari postpartum depression 3: suasana perasaan yang selalu sedih atau sangat cepat berubah-ubah, sering menangis, kesulitan membangun hubungan dengan bayi, ketakutan yang sangat bahwa dirinya bukan ibu yang baik, merasa lelah atau kehilangan energi, pola makan yang berubah drastis, pola tidur yang berubah drastis, menarik diri dari keluarga atau teman, tidak menemukan kesenangan dalam kegiatan yang biasanya disenangi, mudah marah, merasa tidak berharga, merasa bersalah, sulit untuk berpikir atau berkonsentrasi, selalu merasa cemas, berpikir untuk menyakiti diri sendiri atau bayi, dan memiliki pikiran untuk bunuh diri.
Prevalensi (tingkat kejadian) postpartum depression di Indonesia sendiri menurut hasil penelitian menunjukkan angka 2,32% 4. Angka tersebut menunjukkan bahwa perempuan Indonesia pun bisa rentan mengalami postpartum depression. Selain berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental dari ibu yang mengalami postpartum depression, kondisi ini juga dapat menimbulkan dampak negatif pada perkembangan anak. Menurut hasil penelitian 5, bayi yang ibunya mengalami postpartum depression memiliki tingkat aktivitas yang lebih rendah, rentan mengalami kecemasan, memiliki hubungan yang kurang positif dengan ibunya, dan kurang mampu beradaptasi dengan stress lingkungan. Dampak tersebut dapat muncul karena depresi yang dialami ibu menyebabkan kurang terjalinnya interaksi yang positif antara ibu dengan bayi. Waktu yang seharusnya dipergunakan ibu untuk bermain, berbicara, atau memberikan tanggapan yang penuh kasih sayang pada bayi menjadi berkurang.
Jika postpartum depression tidak tertangani dan dialami secara berlarut-larut, akan berdampak negatif pada perkembangan anak dalam jangka panjang. Tidak hanya pada anak yang baru saja dilahirkan, tetapi juga saudara-saudaranya. Ibu yang harus terus-menerus bergelut dengan depresi dapat mengakibatkan penelantaran anak. Ibu bisa lalai untuk memenuhi kebutuhan dasar dan merawat kesehatan anak. Kelalaian tersebut dapat menyebabkan anak rentan mengalami keterlambatan perkembangan kognitif, keterlambatan perkembangan bahasa, masalah emosi, masalah kesehatan, dan masalah perilaku. Masalah-masalah tersebut sangat mempengaruhi kesiapan dan kemampuan anak untuk bersekolah 6. Jadi dapat disimpulkan bahwa postpartum depression dapat berpengaruh tidak hanya pada kesejahteraan penderitanya, tetapi juga anggota keluarga yang lain.
Menurut hasil penelitian Idaiani dan Basuki4, kelompok ibu di masyarakat Indonesia yang paling rentan mengalami postpartum depression adalah yang mengalami komplikasi pada persalinan, ketuban pecah dini, partus macet, dan bayi dengan berat badan lahir rendah. Secara umum hal-hal tersebut adalah masalah kehamilan dan persalinan yang menimbulkan stress. Stress yang muncul selain diakibatkan oleh kedua hal tersebut, juga bisa menjadi pemicu postpartum depression. Pemicu lain adalah masalah kesehatan bayi, bayi kembar, kesulitan dalam menyusui, masalah dengan pasangan atau keluarga, dukungan keluarga yang kurang, dan kehamilan yang tidak diinginkan2.
Apakah ayah juga bisa mengalami postpartum depression? Ayah ternyata juga bisa mengalami postpartum depression. Ayah dengan usia muda, dengan riwayat depresi sebelumnya, memiliki masalah dengan pasangan, dan mempunyai kesulitan ekonomi adalah kelompok yang rentan mengalami postpartum depression. Dampak negatif yang muncul pada ayah yang mengalami postpartum depression pun sama bahayanya dibandingkan dengan ibu yang mengalami postpartum depression2.
Agar terhindar dari postpartum depression, anggota keluarga dapat mengambil langkah-langkah berikut:
- Berkomunikasi secara terbuka dengan keluarga, kerabat, atau teman dekat. Tidak perlu malu mengungkapkan rasa sedih, pikiran, atau kesulitan yang dihadapi. Dengan mengungkapkan pada orang terdekat, maka mereka dapat membantu untuk mengurangi beban dan kesulitan yang dirasakan. Masalah “kecil” seperti kurang tidur atau kelelahan mengganti popok bayi jika dibiarkan bisa memicu postpartum depression. Jika ada yang membantu maka ibu atau ayah dapat memiliki waktu istirahat yang lebih baik.
- Saling memberikan dukungan diantara anggota keluarga. Dukungan dari pasangan sangat diperlukan karena dengan bertambahnya peran sebagai orang tua maka bertambah pula tugas dan tanggung jawabnya. Berbagi tugas diantara pasangan sangat diperlukan agar tidak menimbulkan lelah yang berlarut-larut pada salah satu pasangan. Dukungan dari keluarga besar, kerabat, atau teman juga sangat diperlukan. Mereka adalah bagian dari support system. Bantuan atau sekedar teman bercerita bisa sangat membantu orang tua atau calon orang tua.
- Mau menerima bantuan. Tidak perlu malu untuk menerima bantuan dari orang lain baik keluarga maupun teman. Dengan dibantu orang lain, bukan berarti kita adalah orang tua yang tidak mampu (capable) atau kurang baik dibandingkan orang tua lainnya.
- Tidur dengan cukup. Meskipun sulit untuk benar-benar istirahat dengan maksimal, usahakan untuk tidur di saat bayi juga tidur.
- Jika tidak ada yang membantu tugas keseharian, usahakan untuk tidak terlalu memikirkan tugas-tugas tersebut. Tidak perlu memikirkan rumah yang tidak rapi, cucian yang menumpuk, memasak, dll. Kerjakan semampunya, berikan fokus perhatian kepada kondisi diri dan bayi.
- Mencari “me time” atau aktivitas sederhana yang membuat rileks. Jika tidak memungkinkan untuk keluar rumah, bisa dicari aktivitas yang bisa dilakukan di rumah seperti membaca buku, mendengarkan musik, atau mengerjakan hobi.
- Bercerita tentang keluhan-keluhan yang dirasakan pada dokter dan tenaga kesehatan yang membantu selama kehamilan dan persalinan. Keluhan tersebut bisa meliputi apa yang dirasakan, dialami, dan dipikirkan. Keterbukaan ini bertujuan agar mereka dapat memberikan bantuan yang tepat dan pada saat yang tepat pula. Terutama bagi yang kehamilannya memiliki resiko tinggi.
- Minta lah bantuan tenaga kesehatan mental seperti psikolog atau psikiater jika merasakan salah satu atau semua dari kondisi ini: tekanan yang semakin berat, memiliki pikiran untuk menyakiti diri atau bayi, dan memiliki pikiran untuk bunuh diri. Sehingga ada yang mendampingi dan membantu melewati saat-saat tersebut secara profesional.
Oleh: Novita, M.Psi, Psikolog
Daftar Pustaka
1 Johnson, T. C. (2018). Is it Postpartum Depression or Baby Blues?. Diakses dari https://www.webmd.com/depression/postpartum-depression/babyblues-postpartum#1
2 Mayo Clinic. (2018). Postpartum Depression. Diakses dari https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/postpartum-depression/symptoms-causes/syc-20376617
3 Grohol, J. M. (2018). Postpartum Depression. Diakses dari https://psychcentral.com/disorders/postpartum-depression/
4 Idaiani, S. & Basuki, B. (2012). Postpartum Depression in Indonesian Women: A National Study. Health Science Indonesia; 3: 3-8.
5 Morais, M.L.S., Lucci, T.K., & Otta, E. (2013). Postpartum Depression and hild Development in First Year of Life. Campinas; 30: 7-17.
6 Community
Catalyst. (2015). Maternal Depression:
Implications for Parents and Children and Opportunities for Policies Change. Diakses
dari www.communitycatalyst.org
Komentar
Belum Ada Komentar