Mengenal Jenis-Jenis Child Abuse

Mengenal Jenis-Jenis Child Abuse

Misteri kematian Engeline yang mengemuka beberapa waktu belakangan membuka mata kita betapa penyiksaan pada anak dapat ditemukan dengan mudah di sekitar kita. Ini baru satu kasus saja. Masih banyak lagi kasus-kasus lain, yang mungkin luput dari sorotan media massa atau bahkan media jejaring sosial.

Penyiksaan pada anak kerap dihubungkan dengan luka lebam pada tubuh (akibat benda tumpul), luka berdarah (akibat benda tajam), atau patah tulang. Semua itu baru sederet luka yang kentara akibat penganiayaan secara fisik dan biasanya merupakan buntut dari serangkaian penyiksaan secara psikologis pada anak.

Anak kerap menjadi sasaran kemarahan orangtua. Wujudnya tidak selalu berbentuk luka pada tubuh. Luka secara emosional, misalnya kurang kasih sayang atau diabaikan orangtua, meninggalkan bekas yang lebih melekat di kepala anak. Membiarkan anak tanpa pengawasan atau membuat anak merasa bodoh dan tidak berharga bisa berujung trauma.

Mitos dan Fakta

Banyak orang mengira, child abuse atau penyiksaan pada anak sekadar luka fisik semata. Padahal anak-anak yang diabaikan atau orangtuanya tidak mau mengerti kerap lebih tersiksa. Untuk kasus kedua, sulit bagi orang lain untuk mencampuri karena “luka” tidak terlihat secara fisik.

Anak-anak yang tumbuh dengan child abuse kerap dikatakan berpotensi menjadi pelaku child abuse di masa depan. Namun, sebagian besar mengatakan korban child abuse malah tumbuh dengan motivasi melindungi anak yang jauh lebih besar.

Hanya orang bodoh yang menganiaya anak mereka. Pernyataan ini tidak bisa diklaim kebenarannya. Child abuse bisa menimpa siapa saja, dari kalangan apapun, baik orang kaya atau miskin, terpelajar atau kurang berpendidikan sekalipun. Yang perlu dipahami, tidak semua pelaku child abuse berniat menyakiti anak mereka.

Jenis-jenis Child Abuse

Emosional

Perlakuan tidak tepat secara emosional berpotensi besar merusak kesehatan mental anak dan sosialisasi mereka dengan lingkungan. Anak bisa terkungkung suasana buruk dalam dirinya karena secara psikologis ia memiliki luka jangka panjang.

Beberapa hal yang harus diperhatikan orangtua terhadap anak-anak. Pertama, jangan menganggap remeh anak-anak Anda. Setiap anak memiliki kemampuan dan potensi masing-masing. Sudah menjadi tugas orangtua mengenali bakat dan minat anak.

Membandingkan anak-anak kita dengan anak lain (seperti yang kerap dilakukan misalnya saat mengambil rapor atau mempersoalkan prestasi anak) hanya akan mempermalukan mereka. Apalagi jika orangtua melakukannya di depan umum. Itu hanya akan membuat mereka malu dan rendah diri.

Berkata kasar atau tidak baik pada anak, termasuk memberikan label tertentu. Misalnya, kerap menyebut pernyataan negatif mengenai si anak seperti bodoh, tidak berharga, salah, dan julukan-julukan lainnya, misalnya gendut, tuli, dan lain-lain.

Berteriak kepada anak membahayakan mereka secara mental. Apalagi disertai ancaman dan penganiayaan, seperti mencubit atau bentuk lain yang dianggap anak sebagai “hukuman”.

Mengabaikan anak atau mendiamkannya sebagai wujud hukuman juga harus dihindari. Anak-anak akan menjadi serba salah karena mereka hanya berperilaku sesuai kata hati alias tidak bermaksud membuat kesalahan. Terkadang, anak-anak tidak tahu apa kesalahannya.

Anda bisa mulai membangun hubungan harmonis dengan anak-anak Anda. Awali semuanya dengan menahan emosi diri sendiri. Terkadang orangtua lelah bekerja, melihat rumah berantakan, atau tidak puas dengan apa yang dilakukan anak-anaknya. Namun, semua itu bukan alasan menimpakan kekesalan kepada anak.

Anda bisa menarik napas panjang dan meredam emosi sebelum “memarahi” anak. Anda bisa membangun kontak fisik sejak dini seperti memeluk, mencium, dan menunjukkan kasih sayang tanpa perlu berkata-kata. Jika Anda marah, awali kemarahan dengan menenangkan diri. Setelahnya, berbicara baik-baik dengan anak Anda. Dari sini Anda bisa membangun komunikasi dengan baik.

Mengabaikan Anak

Perlakuan seperti ini kerap ditemukan di mana-mana. Orangtua mengabaikan kecukupan gizi, pendidikan anak. Begitu pula dengan pakaian, kebersihan, dan kesehatannya. Kerap kali, orangtua lupa bahwa anak-anak, apapun kondisinya, tetap perlu diawasi. Namun, perilaku mengabaikan anak tidak mudah terlihat.

Penyiksaan Fisik

Memukul, menendang, atau mencoba menyakiti anak secara fisik berbeda dengan upaya mendisiplinkan anak. Banyak orangtua berdalih cara-cara yang berujung “luka fisik” merupakan upaya agar anak menjadi lebih disiplin. Mendisiplinkan anak itu mengajarkan anak berbuat benar, bukan membuat hidup mereka berada di bawah tekanan dan ketakutan.


Child abuse tidak bisa diprediksi >> anak-anak tidak tahu apa yang membuat orangtua mereka marah. Mereka tidak bisa memprediksinya atau bahkan mengetahui sampai di mana batasan hingga “perilaku mereka” menyulut kemarahan orangtua.


Meluapkan kemarahan >> orangtua kerap memarahi anak hanya untuk melampiaskan kekesalan. Bukan dengan dasar mengajarkan kebenaran kepada anak. Mengontrol amarah sendiri itu penting agar tidak berujung perlakuan buruk kepada anak.


Mengendalikan perilaku anak >> orangtua kerap menggunakan aksi marah agar anak-anak mereka patuh. Namun, itu bukan intinya. Anak-anak perlu diberi keteladanan oleh orangtua.

 


Oleh: Defanie Arianti (Kontributor Biro Psikologi Eureka Consulting)

Sumber:

http://www.helpguide.org/articles/abuse/child-abuse-and-neglect.htm

Komentar

Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar