Perkembangan teknologi informasi terjadi sangat pesat dewasa ini. Salah satu fenomena yang muncul dari perkembangan teknologi informasi adalah media sosial. Berbagai aplikasi media sosial lahir dari proses-proses kreatif penggagasnya. Aplikasi media sosial dirancang untuk memudahkan pengguna dalam bertukar dan berbagi informasi. Sehingga tidak heran saat ini penyebaran informasi tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
Suatu informasi dapat tersebar dalam hitungan sepersekian detik dan bisa diakses oleh masyarakat dari berbagai belahan dunia. Bentuk informasi pun sangat beragam. Dari tulisan, foto, audio, hingga video. Tinggal tekan tombol “cari”, “bagikan”, “unggah”, atau “explore” maka semua jenis informasi tersebut bisa kita dapatkan.
Dengan kemudahan untuk bisa berbagi dan mengakses informasi tentu mendatangkan banyak manfaat. Media sosial “mendobrak” batasan-batasan yang dahulu membuat kita harus menunggu informasi untuk sampai di tangan kita. Berbagai ide kreatif bisa lahir dan dikembangkan dengan kemudahan tersebut. Kondisi ini berdampak positif kemajuan di berbagai bidang antara lain ekonomi, pendidikan, budaya, politik, dan sosial. Sebagai contoh bisa memasarkan suatu produk tidak hanya di daerah sendiri tapi memungkinkan juga hingga ke mancanegara, memperkenalkan kebudayaan lokal ke luar negeri, siswa/mahasiswa bisa memperkaya pengetahuan tidak hanya di dalam ruang kelas, para praktisi pendidikan bisa saling berbagi bahan atau keterampilan, komunitas bisa dibentuk tanpa harus tatap muka, dan suatu pesan sosial bisa disebarkan secara luas ke hampir semua lapisan masyarakat.
Meski demikian, jika tidak digunakan secara bijak maka perkembangan teknologi informasi juga bisa memberikan dampak negatif pada individu maupun masyarakat. Salah satu contohnya yaitu mudahnya suatu informasi menjadi viral (menyebar dengan cepat atau luas) tanpa dipastikan terlebih dahulu isi dan dampak dari konten informasi tersebut. Padahal tidak semua informasi yang tersebar tersebut benar dan relevan. Bahkan terdapat banyak informasi viral dengan konten yang justru tidak layak “dikonsumsi” secara luas.
Informasi-informasi tersebut bisa berbentuk foto atau video yang memperlihatkan gambaran peristiwa secara jelas (graphic content). Beberapa peristiwa yang sempat viral di Indonesia dengan konten yang tidak menyenangkan tersebut antara lain mengandung kekerasan, perilaku asusila, kecelakaan, pelecehan, dan penganiayaan 1.
Masih banyak anggota atau bagian dari masyarakat yang dengan mudahnya ikut membagikan informasi berisi graphic content tersebut. Mereka terdorong untuk ikut membagikan suatu informasi hingga menjadi viral bisa disebabkan oleh terbawa emosi, menganggap informasi tersebut fenomenal, atau agar dianggap “keren” (tidak ketinggalan informasi) 2. Padahal informasi tersebut sesungguhnya tidak layak untuk “dikonsumsi” secara luas. Selain memiliki efek sosial yang negatif, informasi dengan graphic content tersebut dapat memberikan dampak buruk pada anak-anak yang ikut melihat.
Paparan foto atau video di media sosial yang berisi kekerasan, penganiayaan, pelecehan, dan kecelakaan pada anak-anak dapat mengakibatkan3:
1. Anak menjadi kurang peka/sensitif untuk berempati pada penderitaan orang lain. Ketidakpekaan tersebut dapat timbul karena anak bisa salah mempersepsikan tindakan tersebut merupakan tindakan yang “keren” dan biasa dilakukan oleh orang lain.
2. Anak menganggap bahwa tindakan kekerasan adalah hal yang dibenarkan untuk menyelesaikan masalah.
3. Anak meniru tindakan agresif atau asusila yang dilihatnya dari media sosial. Pada awalnya anak melihat konten-konten tersebut karena penasaran, tetapi harap diingat bahwa anak adalah peniru yang ulung. Hal-hal yang dilihat dan didengarnya sangat mudah ia tiru. Terlebih pada anak yang belum memiliki pemahaman akan makna suatu perilaku atau norma yang mengatur perilaku, anak bisa mengimitasi perilaku tanpa mengetahui bahwa perilaku tersebut tidak baik.
4. Anak merasakan ketakutan terkait peristiwa yang dilihatnya misalnya untuk naik transportasi umum, bermain dengan teman-temannya, atau bertemu dengan baru. Anak bisa mengalami kecemasan yang tinggi karena ia takut akan mengalami kejadian serupa.
“Benar bahwa kekerasan yang ada di media tidak serta merta merubah anak baik menjadi pelaku kriminal. Tetapi seperti seperti tiap batang rokok yang dihisap dapat meningkatkan kemungkinan perokok menderika kanker paru-paru, maka setiap tayangan kekerasan yang dilihat anak akan meningkatkan kemungkinannya melakukan tindakan agresif pada suatu situasi (Brushman & Huesmann)4”
Dari penjelasan mengenai dampak yang bisa timbul akibat melihat tayangan yang tidak menyenangkan di media sosial, terlihat bahwa hal tersebut sangat merugikan anak-anak. Orang tua dapat mengantisipasi supaya anak-anak tidak perlu merasakan dampak buruk tersebut. Cara yang direkomendasikan oleh American Academy of Pediatric (AAP) antara lain4:
1. Membatasi waktu anak mengakses media sosial. Kegiatan anak ber-media sosial termasuk ke dalam kegiatan screen time yaitu sama dengan kegiatan menonton televisi, mengakses komputer, dan memainkan video games. APA merekomendasikan screen time secara keseluruhan tidak lebih dari 2 jam untuk anak dengan usia dua tahun ke atas.
2. Menghindarkan screen time untuk anak di bawah usia dua tahun.
3. Kamar anak bebas dari segala macam media baik telepon genggam, televisi, komputer, dan segala jenis gadget.
4. Co-view atau membersamai anak saat mereka membuka media sosial. Ajak anak berbincang ringan saat melihat feeds di Instagram, Youtube, ataupun media yang dibagikan temannya lewat messenger. Sambil berbincang, orang tua dapat menanamkan nilai dan norma yang berlaku dikeluarga serta masyarakat.
Bagaimana dengan anak yang sudah terlanjur meniru atau memiliki persepsi yang salah? Jika hal ini terlanjur terlanjur terjadi, maka orang tua sebaiknya mengevaluasi penggunaan gadget yang diberikan pada anak. Secara perlahan terapkan rekomendasi dari AAP, dimulai dengan mengurangi waktu anak mengakses gadget dan media sosial. Orang tua juga dapat mengajak anak berbicara dari hati ke hati, tanpa meyudutkan anak terlebih dahulu. Gali pemahanan anak tentang tayangan yang sudah dilihatnya dan alasan anak meniru perbuatan atau merasakan ketakutannya. Dengan memahami pikiran dan perasaan anak, orang tua dapat memutuskan tindakan yang diperlukan. Misalnya dengan memberikan penjelasan yang tepat, memberikan dukungan emosional, atau menerapkan peraturan yang disepakati bersama anak.
Oleh: Novita, M.Psi, Psikolog
Daftar Pustaka
1 Mahany, A. T. (2016). 7 Peristiwa Miris di Indonesia ini Viral di 2016. Diakses dari https://www.brilio.net/duh/7-peristiwa-paling-miris-di-indonesia-ini-viral-di-2016-161228s.html
2Kumparan. (2017). 6 Alasan Sebuah Video Bisa Menjadi Viral di Dunia Maya Menurut Profesor dari AS. Diakses dari https://kumparan.com/jejaktekno/6-alasan-sebuah-video-bisa-menjadi-viral-di-dunia-maya-menurut-profesor-dari-as
3 American Psychologist Association. (2013). Violence in teh Media – Psychologists Study TV and Video Game Violence for Potential Harmful Effects. Diakses dari https://www.apa.org/research/action/protect.aspx
4
Strasburger, V. C., Jordan, A. B., & Donnerstein, E. (2012). Children, Adolescents, andthe Media: Health
Effects. Pediatric Clinic of North America; 59(3): 533-587.
Komentar
Belum Ada Komentar