Bagaimana Mengenali Anak yang Mengalami Penganiayaan?

  • Home
  • Artikel
  • Bagaimana Mengenali Anak yang Mengalami Penganiayaan?
Bagaimana Mengenali Anak yang Mengalami Penganiayaan?

Child abuse atau penyiksaan pada anak banyak menimbulkan problema bagi korban dan dilema bagi saksi. Seperti kasus yang dialami Engeline misalnya. Kecurigaan guru dan tetangga di lingkungan mereka sudah tumbuh sejak almarhum Engeline masih hidup. Namun, hampir semua orang dalam masyarakat kita terbatas alias tidak bisa berbuat apa-apa karena lazim dianggap sebagai urusan internal.

Namun, jika kita melihat tanda-tanda penyiksaan pada anak, baik secara fisik maupun psikis, misalnya anak cenderung murung berlebihan, menarik diri dari lingkungan, terpancar ketakutan di wajah dan perilaku, dan sebagainya, sudah saatnya kita berani bergerak.

Tapi tentu saja, semua itu harus melewati proses karena tidak semua anak pendiam mengalami penyiksaan. Kita harus mengenali betul ciri-cirinya. Termasuk memulai komunikasi dengan orangtua si anak.

Ciri-ciri emotional abuse di antaranya:

1. Anak menarik diri dari lingkungan dan diliputi kecemasan, dan tidak berani berbuat sesuatu karena takut salah.

2. Anak berperilaku ekstrem, seperti terlalu pendiam atau bahkan terlalu agresif.

3. Anak tidak dekat dengan siapapun, termasuk orangtua atau pengasuhnya.

 

Sedangkan ciri penyiksaan fisik mungkin lebih jelas, di antaranya:

1. Anak memiliki luka lebam atau sayatan tanpa sebab.

2. Anak tersebut selalu mewaspadai orang lain.

3. Anak memiliki luka berpola seperti tangan atau ikat pinggang.

4. Anak biasanya enggan disentuh atau takut pulang.

5. Anak memakai pakaian tidak semestinya untuk menutupi luka.

Untuk ciri anak-anak yang kerap diabaikan, bisa dilihat dari:

1. Pakaiannya tidak layak, kotor, kebesaran atau kekecilan.

2. Anak tidak bersih (tidak dimandikan, tidak keramas, dll).

3. Jika anak memiliki luka pada tubuh tidak diobati dengan semestinya.

4. Anak kerap ditinggalkan bermain sendirian tanpa pengawasan.

5. Anak kerap bolos atau terlambat ke sekolah.

 

Lebih parah lagi, jika Anda menemukan anak-anak yang dicurigai mengalami pelecehan seksual seperti kesulitan berjalan atau duduk, menghindari orang-orang tertentu, atau enggan melakukan aktivitas fisik lainnya.

Apa yang bisa kita lakukan jika menyaksikan fenomena ini?

Sebagai manusia, kita tentu memiliki kecurigaan, meski tidak bisa membuktikan. Itu sebabnya, Anda harus tetap tenang menghadapi situasi seperti ini. Jika Anda mengajak anak tersebut berbincang, berbicara dengan biasa tanpa menunjukkan syok atau terkejut. Biarkan anak bercerita dan jangan memaksanya bicara atau menginterogasi dengan melontarkan berbagai pertanyaan. Biasanya mereka akan bingun dan tidak tahu harus menjelaskan apa.

Dalam dialog, Anda bisa meyakinkan si anak bahwa dia tidak melakukan kesalahan. Kalaupun dia menceritakan kesalahan serius, ingatkan bahwa itu bukan salah mereka. Beri penjelasan dengan baik dan menggunakan bahasa yang dimengerti anak-anak.

Jika Anda merasa keselamatan si anak dalam bahaya, lebih baik Anda menghubungi profesional, seperti lembaga perlindungan anak atau kepolisian.

Laporan ke aparat terkait, seperti lembaga perlindungan anak atau kepolisian penting jika Anda tidak dapat menangani temuan itu sendiri. Hanya saja, Anda juga harus bisa menahan diri dengan mengatakan hal-hal yang spesifik tanpa dibumbui kecurigaan atau asumsi pribadi. Sampaikan fakta atau pengakuan si anak apa adanya.

Kekerasan dalam rumah tangga itu nyata dan masyarakat kita tidak menutup mata. Semua terbentur pada norma dan kepantasan. Sebagai tetangga, misalnya, tidak perlu menghakimi pelaku child abuse karena itu di luar wewenang kita. Tetap bersikap baik dan mendukung perbaikan keluarga korban. Tidak lantas menyalahkan tetapi mencoba memahami dari berbagai sudut pandang.

Menjadi pendengar yang baik, salah satu caranya, dengan tetap mendorong orangtua memperbaiki diri. Anda bisa menjadi “sahabat baik” dengan memberi mereka informasi mengenai program atau seminar parenting dan perkemebangan anak, mengajak mereka aktif dalam aktivitas si anak dan program-program lain di luar rumah yang membahas seputar perkembangan hubungan orangtua dan anak.


Oleh: Defanie Arianti (Kontributor Biro Psikologi Eureka Consulting)


Komentar

Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar